1.
Apakah perbandingan budaya itu ?
Budaya
adalah kristalisasi nilai dan pola hidup yang dianut suatu komunitas.
Budaya tiap komunitas tumbuh dan berkembang secara unik, karena
perbedaan pola hidup komunitas itu. Perbandingan budaya Jepang dan
Indonesia berarti mencari nilai-nilai kesamaan dan perbedaan antara
bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Dengan mengenali persamaan dan
perbedaan kedua budaya itu, kita akan semakin dapat memahami
keanekaragaman pola hidup yang ada, yang akan bermanfaat saat
berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak yang berasal dari budaya
yang berbeda.
Kesulitan
utama dalam membuat perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang
disebabkan perbedaan karakteristik kedua bangsa tersebut. Bangsa
Jepang relatif homogen, dan hanya memiliki sekitar 15 bahasa (tidak
berarti 15 suku bangsa, karena termasuk didalamnya sign language
untuk tuna rungu), dan telah memiliki sejarah yang jauh lebih
panjang, sehingga nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Adapun
bangsa Indonesia berciri heterogen, multi etnik, memiliki lebih dari
700 bahasa, sehingga tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya
yang mewakili Indonesia secara nasional[1]. Perlu dipisahkan
nilai-nilai mana yang diterima secara nasional di Indonesia, dan mana
yang merupakan karakter unik salah satu suku yang ada.
Bahasan
dalam makalah ini dibatasi pada perbandingan budaya Indonesia dan
Jepang dari segi-segi sbb. : “nama dan tanda tangan”, “cara
pemakaian gesture untuk penghormatan kepada yang lebih
tua/dihormati”.
2.1 Tradisi penamaan di Jepang
Nama
di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Nama
ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho),
selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua
orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga.
Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi
Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak
memiliki nama keluarga. Sejak restorasi meiji, nama keluarga menjadi
keharusan di Jepang. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama keluarga di
Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki.
Jika
seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga,
mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir
yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Dari survey yang
dilakukan pemerintah tahun 1997, sekitar 33% dari responden
menginginkan agar walaupun menikah, mereka diizinkan untuk tidak
berganti nama keluarga [2]. Hal ini terjadi karena pengaruh struktur
masyarakat yang bergeser dari konsep “ie”(家)
dalam tradisi keluarga Jepang. Semakin banyak generasi muda yang
tinggal di kota besar, sehingga umumnya menjadi keluarga inti (ayah,
ibu dan anak), dan tidak ada keharusan seorang wanita setelah menikah
kemudian tinggal di rumah keluarga suami. Tradisi di Jepang dalam
memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan
jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si
anak.
2.2
Pengalaman unik yang timbul akibat perbedaan budaya
Bagi
orang Indonesia yg datang di Jepang, saat registrasi, misalnya
membuat KTP sering ditanya mana yang family name, dan mana yang first
name. Hampir setiap saat saya harus selalu menjelaskan perbedaan
tradisi antara Indonesia dan Jepang, bahwa di Indonesia tidak ada
keharusan memiliki family name. Umumnya hal ini dapat difahami dan
tidak menimbulkan masalah. Tetapi adakalanya kami harus menentukan
satu nama sebagai family name, misalnya saat menulis paper (artikel
ilmiah resmi), atau untuk kepentingan pekerjaan. Saat itu saya
terpaksa memakai nama “Nugroho” sebagai family name agar tidak
mempersulit masalah administrasi. Demikian juga saat anak saya lahir,
kami beri nama Kartika Utami Nurhayati. Nama anak saya walaupun
panjang tidak ada satu pun yang merupakan nama keluarga. Tetapi saat
registrasi, pihak pemerintah Jepang (kuyakusho) meminta saya untuk
menetapkan satu nama yang dicatat sebagai keluarga, karena kalau
tidak akan sulit dalam pengurusan administrasi asuransi. Akhirnya
nama “Nurhayati” yang letaknya paling belakang saya daftarkan
sebagai nama keluarga. Bagi orang Jepang hal ini akan terasa aneh,
karena dalam keluarga kami tidak ada yang memiliki nama keluarga yang
sama.
Masih
berkaitan dengan nama, adalah masalah tanda tangan dan inkan
(stempel). Di Indonesia dalam berbagai urusan adminstrasi formal
sebagai tanda pengesahan, tiap orang membubuhkan tanda tangan. Tanda
tangan ini harus konstan. Banyak orang yang memiliki tanda tangan
berasal dari inisial nama, tetapi dengan cara penulisan yang unik
yang membedakan dengan orang lain yang mungkin memiliki nama sama.
Tanda tangan ini juga yang harus dibubuhkan di paspor saat seorang
Indonesia akan berangkat ke Jepang. Tetapi begitu tiba di Jepang,
tanda tangan yang semula memiliki peran penting, menjadi hilang
perananannya. Tanda tangan di Jepang tidak memiliki kekuatan formal.
Tradisi masyarakat Jepang dalam membubuhkan tanda tangan adalah
dengan memakai inkan (stempel). Biasanya inkan ini bertuliskan nama
keluarga. Ada beberapa jenis inkan yang dipakai di Jepang. Antara
lain :
- “Mitomein” (認印)
dipakai untuk keperluan sehari-hari yang tidak terlalu penting,
misalnya saat menerima barang kiriman, mengisi aplikasi.
- “Jitsuin” (実印)
dipakai untuk keperluan penting, seperti membeli rumah, membeli
mobil. Inkan tipe ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan.
- “Ginkoin” (銀行印)
dipakai untuk membuka rekening di bank
- “Jitsuin”
dan “ginkoin” sangat jarang dipakai dan harus disimpan baik-baik.
Karena kalau hilang akan menimbulkan masalah serius dalam bisnis.
Bagi
orang asing saat masuk ke Jepang harus membuat inkan. Untuk membuat
rekening bank, kita tidak boleh memakai tanda tangan, dan harus
memakai inkan. Kecuali yubinkyoku masih membolehkan pemakaian tanda
tangan. Karena tidak punya kebiasaan tanda tangan, banyak maka orang
Jepang kalau diminta untuk menanda tangan (di paspor misalnya),
umumnya mereka menuliskan nama lengkap mereka dalam huruf kanji. Barangkali karena inilah maka kalau saya diminta seorang petugas
pengiriman barang, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti
terima, dia berkata “tolong tuliskan nama lengkap anda”, padahal
itu di kolom signature. Sepertinya untuk mereka, tanda tangan sama
dengan menulis nama lengkap.
2.3
Tradisi penamaan di Indonesia
Adapun
masyarakat di Indonesia tidak semua suku memiliki tradisi nama
keluarga. Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga.
Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi memiliki nama keluarga.
Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku mana dia
berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap
suku di Indonesia
- Suku
Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su
(untuk laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”.
Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri
Ningsih.
- Suku
Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki
perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
- Suku
Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
- Suku
Minahasa : beberapa contoh nama marga antara lain Pinontoan,
Ratulangi.
- Suku
Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan,
bukan merupakan nama keluarga.
Selain
nama yang berasal dari tradisi suku, banyak nama yang diambil dari
pengaruh agama. Misalnya umat Islam : Abdurrahman Wahid, Abdullah,
dsb. Sedangkan umat Katolik biasanya memakai nama baptis :
Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dsb.
2.3
Tradisi kebudayaan Cina
Kebudayaan China ialah penempatan
kepada salah satu tamadun tertua dan paling kompleks yang meliputi
sejarah lebih 5,000 tahun. Negara China meliputi kawasan geografi
besar yang penuh adat dan tradisi yang banyak berbeza antara pekan,
bandar dan wilayah.
Kebudayaan kuno China dimulai pada massa
kaisar T'ang dinasti Syang yang berlangsung selama tahun 1766- 1122
SM. Pada zaman dinasti ini berkembang semacam feodalisme, selain
kaisar yang berkuasa di pusat wilayah ada pula bangsawan- bangsawan
yang memerintah di daerah- daerah pesisir.
Pada
zaman dinasti Cou seorang raja atau kaisar disebut "Putra
langit" yang di percaya sebagai dewa tertinggi alam semesta.
Sistem pemerintahan masih sama dengan sistem pemerintahan sekarang,
jika seorang raja bekerja dengan baik maka akan di dukung penuh oleh
rakyat begitu pun sebaliknya.
Bahasa Cina lisan terdiri daripada
sebilangan dialek Cina sepanjang sejarah. Ketika Dinasti Ming, bahasa
Mandarin baku dinasionalkan. Sengguhpun begitu, barulah ketika zaman
Republik China pada awal abad ke-20 apabila kelihatan apa-apa hasil
yang nyata dalam memupuk satu bahasa seragam di China.
Pada
zaman kuno, bahasa Cina Klasik menjadi standard penulisan selama
beribu-ribu tahun, tetapi banyak terhad kepada golongan sarjana dan
cendekiawana. Menjelang abad ke-20, jutaan rakyat, termasuk yang di
luar kerabat diraja buta huruf. Hanya selepas Gerakan 4 Mei baru
bermulanya usaha beralih ke bahasa Cina Vernakular yang membolehkan
rakyat biasa membaca kerana dirangka berasaskan linguistik dan
fonologi bagi suatu bahasa lisan.Sebahagian besar budaya Cina
berasaskan tanggapan bahawa wujudnya sebuah dunia roh. Berbagai-bagai
kaedah penelahan telah membantu menjawab soalan, dan dijadikan pun
alternatif kepada ubat. Budaya rakyat telah membantu mengisi
kekosongan untuk segala hal yang tiada penjelasannya. Kaitan antara
mitos, agama dan fenomena yang aneh memang rapat sekali. Dewa-dewi
menjadi sebahagian tradisi, antara yang terpenting termasuk Guan Yin,
Maharaja Jed dan Budai. Kebanyakan kisah-kisah ini telah berevolusi
menjadi perayaan tradisional Cina. Konsep-konsep lain pula diperluas
ke luar mitos menjadi lambang kerohanian seperti dewa pintu dan singa
penjaga. Di samping yang suci, turut dipercayai yang jahat.
Amalan-amalan seperti menghalau mogwai dan jiang shi dengan pedang
kayu pic dalam Taoisme adalah antara konsep yang diamalkan secara
turun-temurun. Upacara penilikan nasib Cina masih diamalkan pada hari
ini selepas bertahun-tahun mengalami perubahan.
Alat Musik
Tradisional Alat musik tradisional Cina secara sederhana dapat
digolongkan sebagai berikut: Alat musik gesek Erhu = Rebab China,
badannya menggunakan kulit ular sebagai membran, menggunakan 2 senar,
yang digesek dengan penggesek terbuat dari ekor kuda Gaohu = Sejenis
dengan Erhu, hanya dengan nada lebih tinggi Gehu = Alat musik gesek
untuk nada rendah, seperti Cello Banhu = Rebab China, dengan badan
terbuat dari batok kelapa dengan papan kayu sebagai membrannya Alat
musik petik Alat musik ini memiliki banyak senar, cara memainkannya
dengan memukul Liuqin = Alat musik petik kecil bentuknya seperti buah
pir dengan 4 senar Yangqin = dengan stik bambu sebagai pemukulnya
Pipa = Alat musik petik berbentuk buah pir dengan 4 atau 5 senar Ruan
= Alat musik petik berbentuk bulat dengan 4 senar Sanxian = Alat
musik petik dengan badan terbuat dari kulit ular dan dengan leher
panjang, memiliki 3 senar Guzheng = Kecapi yang memiliki 16 - 26
senar Konghou = Harpa China Alat musik tiup Dizi = Suling dengan
menggunakan membran getar Suona = Terompet China Sheng = Alat musik
yang menggunakan bilah logam dengan tabung-tabung bambu sebagai
penghasil suara Xiao = Suling Paixiao = Pipa pen Alat musik pukul (
perkusi ) Paigu = Gendang yang terdiri dari satu set 4 atau lebih.
Dagu = Tambur besar. Chazi = Simbal, cengceng. Luo = Gong. Muyu =
Kecrek terbuat dari kayu.
Pakaian bangsa China Sejarah
kehadiran kaum China bermula dengan berkembangnya Melaka sebagi pusat
perdagangan, diikuti Pulau Pinang dan Kula Lumpur. Kehadiran mereka
ini membawa bersama bukan sahaja barangan dagangan untuk tukaran,
tetapi jua adat resam, budaya dan corak pakaian tradisional mereka
yang kemudiannya disesuaikan dengan suasana tempatan. Busana klasik
China yang asalnya berlapis-lapis, sarat dengan sulaman benang emas
dan sutera, kini masih boleh dilihat dengan diubahsuai mengikut
peredaran masa dan kesesuaian. Jubah Labuh, Cheongsam, Baju Shanghai
dan Samfoo kekal dipakai di dalam majlis dan upacara. Kebanyakannya
masih dihasilkan dari negeri China menggunakan pabrik sutera dan
broked yang berwarna terang dengan ragamhias benang emas dan
perak.
Bahasa Bahasa China lisan terdiri daripada sebilangan
dialek Cina sepanjang sejarah. Ketika Dinasti Ming, bahasa Mandarin
baku dinasionalkan. Sengguhpun begitu, barulah ketika zaman Republik
China pada awal abad ke-20 apabila kelihatan apa-apa hasil yang nyata
dalam memupuk satu bahasa seragam di China. Pada zaman kuno, bahasa
China Klasik menjadi standard penulisan selama beribu-ribu tahun,
tetapi banyak terhad kepada golongan sarjana dan cendekiawana.
Menjelang abad ke-20, jutaan rakyat, termasuk yang di luar kerabat
diraja.
2.4
Perbandingan ketiga tradisi
Persamaan
antara kedua tradisi
Baik di Jepang maupun di Indonesia dalam
memilih nama (first name) sering memilih kata yang mensimbolkan makna
baik, sebagai doa agar si anak kelak baik jalan hidupnya. Khusus di
Jepang, banyaknya stroke kanji yang dipakai juga merupakan
salah
satu pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak. Umumnya
laki-laki di Jepang berakhiran “ro” (郎),
sedangkan perempuan berakhiran “ko” (子)
Perbedaan
antara kedua tradisi sbb.
- Di Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi,
tetapi di Indonesia nama keluarga ini tidak dicatatkan secara resmi
di kantor pemerintahan. Nama family/marga tidak diperkenankan untuk
dicantumkan di akta kelahiran
- Di Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara
resmi mengikuti nama keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat
menikah, seorang wanita tidak berganti nama keluarga. Tapi ada juga
yang nama keluarga suami dimasukkan di tengah, antara first name dan
nama keluarga wanita, sebagaimana di suku Minahasa. Di Indonesia
umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri.
Misalnya saja Prio Jatmiko menikah dengan Sri Suwarni, maka istri
menjadi Sri Suwarni Jatmiko. Tetapi penambahan ini tidak melewati
proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.
- Huruf Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun nama anak di Jepang
dibatasi oleh pemerintah (sekitar 2232 huruf, yang disebut jinmeiyo
kanji), sedangkan di Indonesia tidak ada pembatasan resmi untuk
memilih kata yang dipakai sebagai nama anak
2.5
Pengalaman unik yang timbul akibat perbedaan budaya
Bagi
orang Indonesia yg datang di Jepang, saat registrasi, misalnya
membuat KTP sering ditanya mana yang family name, dan mana yang first
name. Hampir setiap saat saya harus selalu menjelaskan perbedaan
tradisi antara Indonesia dan Jepang, bahwa di Indonesia tidak ada
keharusan memiliki family name. Umumnya hal ini dapat difahami dan
tidak menimbulkan masalah. Tetapi adakalanya kami harus menentukan
satu nama sebagai family name, misalnya saat menulis paper (artikel
ilmiah resmi), atau untuk kepentingan pekerjaan. Saat itu saya
terpaksa memakai nama “Nugroho” sebagai family name agar tidak
mempersulit masalah administrasi. Demikian juga saat anak saya lahir,
kami beri nama Kartika Utami Nurhayati. Nama anak saya walaupun
panjang tidak ada satu pun yang merupakan nama keluarga. Tetapi saat
registrasi, pihak pemerintah Jepang (kuyakusho) meminta saya untuk
menetapkan satu nama yang dicatat sebagai keluarga, karena kalau
tidak akan sulit dalam pengurusan administrasi asuransi. Akhirnya
nama “Nurhayati” yang letaknya paling belakang saya daftarkan
sebagai nama keluarga. Bagi orang Jepang hal ini akan terasa aneh,
karena dalam keluarga kami tidak ada yang memiliki nama keluarga yang
sama.
Masih
berkaitan dengan nama, adalah masalah tanda tangan dan inkan
(stempel). Di Indonesia dalam berbagai urusan adminstrasi formal
sebagai tanda pengesahan, tiap orang membubuhkan tanda tangan. Tanda
tangan ini harus konstan. Banyak orang yang memiliki tanda tangan
berasal dari inisial nama, tetapi dengan cara penulisan yang unik
yang membedakan dengan orang lain yang mungkin memiliki nama sama.
Tanda tangan ini juga yang harus dibubuhkan di paspor saat seorang
Indonesia akan berangkat ke Jepang. Tetapi begitu tiba di Jepang,
tanda tangan yang semula memiliki peran penting, menjadi hilang
perananannya. Tanda tangan di Jepang tidak memiliki kekuatan formal.
Tradisi masyarakat Jepang dalam membubuhkan tanda tangan adalah
dengan memakai inkan (stempel). Biasanya inkan ini bertuliskan nama
keluarga.
Penutup
Perbandingan
budaya antara Indonesia dan Jepang bermanfaat untuk mengetahui pola
berfikir bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Salah satu kesulitan
utamanya adalah perbedaan karakteristik kedua bangsa: bangsa Jepang
relatif homogen, sedangkan bangsa Indonesia sangat heterogen.
Karenanya, perbandingan akan lebih mudah jika difokuskan pada satu
suku bangsa di Indonesia. Misalnya budaya Jepang dengan budaya Jawa
Tengah, atau budaya Jepang dengan budaya Sunda. Hal ini menggiring
kita pada pertanyaan berikutnya : apakah bangsa Indonesia memiliki
budaya nasional ? Ataukah budaya nasional itu tidak lain adalah
kumpulan dari warna-warni budaya suku bangsa kita ? Ini merupakan
pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, dan menarik untuk
dianalisa lebih lanjut.